Aku menatap tepat kearah kedua wajah anak kecilku yang
sedang mematung didepan tubuhku. Mereka sangat
kelihatan lucu-lucu, namun herannya kelucuan itu
disambut oleh deraian air mata yang mengalir
terus-menerus dari kelopak kedua biji mataku yang tak
kunjung henti.
"Ya Allah.....!" Aku membisik dalam hati memanggil
nama Tuhan agar diberi kekuatan untuk berdiri didapan
kedua anak kembarku yang kini genap berusia lima tahun
itu.
"Ibu...! Kenapa Ibu ingin Ke Singapura?" Tanya Nony
seorang anak kembarku sambil merengek-rengek seolah
tidak mengizinkan kepergianku.
Ku bungkukkan tubuhku sebaik saja aku mendengar
kata-katanya itu, lalu secepatnya kupeluk dan kudekap
bersama-sama tubuh sepasang anak kembarku.
"Ibu mau mencari uang nak!" jawabku dengan suara yang
terisak-isak kesedihan.
" Nanti kalau Ibu di Singapura siapa yang jaga Nony
dan Nany?" tanya mereka berdua secara serentak seolah
pertanyaan itu sudah direncanakan oleh mereka terlebih
dahulu.
" Nenek kan ada." Jawabku singkat dan tidak ingin
menambahkan kata-kata apa lagi.
Lalu.... tiba-tiba saja fikiranku melayang ke arah
Syamsul, mantan suamiku yang telah menceraikan aku
satu bulan yang lalu. Oh tidak....! Bukan Syam yang
menceraiakan aku, tetapi aku yang minta diceraiakan.
Kalau saja saat ini Syam masih menjadi suamiku, tidak
mungkin aku akan mengalami kesedihan yang luar biasa
seperti sekarang ini, yaitu kesedihan untuk berpisah
dengan darah dagingku yang sangat aku sayangi.
Syam bukannya seorang pengangguran yang tidak punya
pekerjaan, tetapi Syam adalah seorang suami yang bisa
mencukupi kebutuhan hidupku dan anak-anakku selama aku
menjadi istrinya. Syam memang seorang suami yang
bertanggung jawab dari segi nafkah. Tapi..... dia
penipu! Dia telah menipu aku dan aku tidak akan
memaafkannya.
Diam-diam dibelakangku dan tanpa sepengetahuanku, Syam
telah menikah lagi dengan seorang teman SMA ku, Shanti
- seorang janda kaya yang berpenampilan persis bintang
sinetron itu dan bahkan mereka kini sudah punya
seorang cahaya mata berumur 2 bulan.
Toko pracangan yang laris di Jalan Merdeka itu kini
bukan lagi milikku, tapi itu milik Shanti. Mobil- colt
Toyota warna abu-abu yang dipakai Syam untuk mencari
muatan penumpang itu juga bukan milikku, itu milik
Shanti. Hanya Nony dan Nany lah milikku, sebuah
pemberian yang sangat berharga dari Syam.
"Ibu....bapak datang!" jerit Nany yang masih berada
dipelukanku dan suaranya itu membuyarkan lamunanku.
" Iya Bu, itu bapak ada diluar mau menuju kemari!"
tambah Nony sambil melepasakan lingkaran tanganku yang
sedang memeluk tubuhnya lalu secepatnya kedua anak
kembarku mengejar tempat dimana bapak mereka berada.
Tanpa membuang kesempatan, akhirnya aku mengangkat tas
parasit warna hitam garis-garis merah yang berisi
baju-bajuku lalu kutinggalkan rumahku dan segunung
kenangan pahit dan manis yang telah aku kecapi dan
menuju ke penampungan.
Dalam bus yang mengantarkanku ke penampungan, aku
berdoa semoga aku cepat diberangkatkan ke Singapura
dan di Singapura nanti aku mendapatkan majikan yang
baik hati, agar cita-citaku untuk membahagiakan
anak-anakku dikabulkan dan menjadi kenyataan.
Syam adalah Syam. Walau aku telah membencinya tetapi
aku tidak bisa menjauhkannya dari anak-anakku, karena
anak-anakku adalah darah dagingnya juga.'Air di
cincang takkan putus'.
Oleh: Muzali
P.S: Buat Mbak Lia dan Mbak Hany, ini cerpen saya
untuk Blog buat mereka.
terimakasih
Salam
muzali